Assalamu'alaikum, wr, wb.,
Hai sobat pembaca setia.,semoga ngk bosan ya.,.,heheheh
kali ini kita akan bahas bagaimana sih seharusnya dalam berkeluarga itu.,.
kali ini kita akan bahas bagaimana sih seharusnya dalam berkeluarga itu.,.
hmm.,ini cocok dibaca bagi yang sudah menikah.,tpi tpi yang belum atu masih dlm proses mau brkrluarga juga boleh.,heheheh, oke langsung saja, mungkin semua kita sudah memahami bahwa
setiap kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung-jawabannya. Termasuk
juga seorang suami dalam keluarga, adalah pemimpin dalam keluarga yang akan
dimintai pertanggung-jawabannya terhadap keluarganya. Allah Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”
(QS. An Nisaa: 34)
Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam juga bersabda:
كُلُّكُمْ
رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Setiap
kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai
pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan
akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap
keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang wanita
bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai
pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893, Muslim 1829).
Namun
banyak yang belum memahami bentuk kepemimpinan seorang suami dalam keluarga.
Sehingga ketika terjadi kesalahan yang penyimpangan yang terjadi di dalam
keluarga, sebagian suami mentoleransi hal tersebut dan tidak merasa itu bagian
dari tugasnya sebagai pemimpin. Misalnya ketika seorang istri atau anak
perempuannya tidak berjilbab, suami berkata: “saya sebenarnya ingin mereka berjilbab, tetapi saya tidak
memerintahkan mereka, biarlah kesadaran berjilbab datang dari diri mereka
sendiri“. Atau ada juga suami yang merasa tugas kepemimpinannya
hanyalah sekedar “memberi tahu”, semisal ketika anaknya berpacaran (dan pacaran
adalah maksiat), ia berkata: “sebenarnya
saya sudah sampaikan kepadanya bahwa pacaran itu tidak baik, namun ia sudah
dewasa, biarlah ia memilih apa yang menurutnya baik“. Secaracommon sense saja sebetulnya kita mengakui bahwa
yang demikian itu bukanlah pemimpin, atau kalau mau dikatakan pemimpin
pun maka pemimpin yang lemah.
Wajibnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam Keluarga
Ketahuilah
amar ma’ruf nahi mungkar sejatinya wajib bagi semua individu muslim, entah ia
sebagai anak, istri ataupun belum berkeluarga. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
الدين النصيحة قلنا
: لمن ؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama
adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk
Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya”
(HR. Muslim, 55)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam memerintahkan kita beramar-ma’ruf nahi-mungkar kepada
semua Muslim, dengan tangan jika mampu, apabila tidak mampu maka menasehati
dengan lisan atau minimal dengan hati:
من
رأى منكم منكرا فليغيره بيده . فإن لم يستطع فبلسانه . فإن لم يستطع فبقلبه
.وذلك أضعف الإيمان
“Barang
siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak
mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan
hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim, 49)
Dan
amar ma’ruf nahi mungkar dalam ruang lingkup keluarga itu lebih ditekankan lagi
wajibnya, Allah Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriiman,
jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan bebatuan” (QS. At Tahrim: 6)
Dan bagi
seorang suami di dalam keluarga yang ia pimpin, kewajiban ini menjadi lebih
wajib lagi. Mengapa demikian? Karena sudah atau belumnya ia
mengerjakan amar ma’ruf nahi mungkar dalam keluarganya akan dimintai
pertanggung-jawaban di akhirat.
كُلُّكُمْ
رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah orang yang
bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang
imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai
pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya
dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893,
Muslim 1829).
Dan
seorang suami asalnya adalah orang yang paling mampu untuk mengubah kemunkaran
dalam keluarganya dengan tangannya atau lisannya. Maka wajib bagi seorang suami
untuk memerintahkan keluarga untuk mengerjakan perkara-perkara yang wajib
bagi mereka dan melarang mereka dari hal-hal yang dilarang agama. Jadi perlu
digaris bawahi, hukumnya wajib, bukan sunnah bukan pula mubah. Dalam kitab Riyadhus
Shalihin, Imam An Nawawi membuat judul bab:
باب
وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن
المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ
“Bab
wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang
sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk
mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua
penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal
yang dilarang agama”.
Ibnu
‘Abdil Barr mengatakan:
فواجب
على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه
أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله
“wajib
bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang
mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib
juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan
menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka
semua hal ini (perintah dan larangan)” (Al
Istidzkar, 510)
Jadi
tidak benar seorang disebut “ulama” dan juga “cendikiawan Muslim” di
negeri kita ini, yang anaknya tidak memakai jilbab, yang berkata: “saya tidak pernah memerintahkannya
berjilbab, kalau ia mau berjilbab biarlah itu dari kesadarannya sendiri“.
Perkataan yang dianggap bijak oleh orang-orang awam namun merupakan kesalahan
yang fatal. Seolah-olah keshalihahan atau kebobrokan keluarganya itu
bukanlah tanggung jawabnya. Inilah yang disebut dayyuts,
yaitu suami yang tidak mengingkari kemaksiatan dan penyimpangan yang dilakukan
keluarganya. Cukuplah dalam hal ini ancaman keras dari Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam:
ثلاثةٌ
لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ
“Tidak
masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, dayyuts (suami yang
membiarkan keluarganya bermaksiat), dan wanita yang menyerupai laki-laki”
(HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid 861/2,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 3063).
Berlaku Hikmah Kepada Keluarga
Setelah
mengetahui kewajiban suami untuk beramar ma’ruf nahi mungkar kepada
keluarganya, perlu diketahui bahwa hal tersebut semestinya dilakukan dengan
hikmah, bukan cara yang serampangan atau kasar. Beramar ma’ruf nahi mungkar
diniatkan untuk memperbaiki dan menunjukkan kebaikan, bukan untuk menimbulkan
kemungkaran lain atau bahkan yang lebih besar. Demikianlah sifat amar ma’ruf
nahi mungkar yang benar kepada seluruh manusia secara umum. Terlebih kepada
keluarga, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang
paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap
keluargaku” (HR. At Tirmidzi3895, ia berkata: “hasan gharib shahih”)
Al
Munawi menjelaskan: “(aku
adalah yang paling baik terhadap keluargaku) yaitu dalam urusan
agama maupun urusan dunia” (Faidhul Qadhir, 3/496). Ibnu ‘Allan mengatakan:
“maksud dari (aku adalah
yang paling baik terhadap keluargaku) adalah bahwa beliau adalah
yang paling baik sikapnya terhadap keluarga beliau dan paling sabar menghadapi
mereka dengan segala perbedaan keadaan mereka” (Dalilul Falihin, 3/105).
Maka
seorang suami yang bijak adalah yang senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar
terhadap keluarganya dengan cara-cara yang baik, penuh kelembutan,
kesabaran dan akhlak selain itu juga efektif, kreatif, solutif dan tepat
sasaran sehingga tidak menimbulkan friksi-friksi yang justru berujung pada
kerusakan yang lebih besar dari kemungkaran yang diingkari.
Hidayah Hanya Milik Allah
Sebagai
penutup bahasan ini, penting untuk diketahui bahwa hidayah itu di tangan Allah.
Yang menjadi tanggung jawab kita adalah proses, bukan hasil. Adapun hasil,
itu di tangan Allah. Kita diperintahkan untuk beramar ma’ruf nahi mungkar
dengan cara yang benar, adapun hasilnya apakah keluarga kita menjadi orang
bertaqwa ataukah tidak, kelak menjadi penghuni neraka ataukah surga, itu di
tangan Allah.
لَيْسَ
عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Bukanlah kewajibanmu
apakah mereka mendapat petunjuk (atau tidak), akan tetapi Allah-lah yang
memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya” (QS.
Al Baqarah: 272)
Sebagaimana
kita sendiri tidak bisa menjamin diri kita berada senantiasa di atas
hidayah Allah, kita juga tidak bisa menjamin dan memastikan seseorang untuk
mendapat hidayah Allah. Bahkan para Nabi pun tidak bisa memastikan hal tersebut
pada keluarga mereka. Ingat kisah Nabi Nuh yang anak-istrinya enggan mengikuti
ajakannya untuk bertauhid, juga kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang ayahnya tidak mendapat
hidayah untuk bertauhid, dan banyak lagi. Yang dituntut darii kita adalah
berproses, adapun hasil ada di tangan Allah.
Wabillahi
at taufiq wassalamu'alaikum, wr, wb
Artikel
Muslim.Or.Id
0 comments:
Post a Comment